Cerita dari Anak Seni yang “Enggak Nyeni-Nyeni Amat” saat Mengikuti Curatorial Tour Artjog 2019
Jalan ke Kota Selasa, Agustus 27, 2019
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sebuah Warning :
Seperti biasa, blogpost ini bakal
lebih banyak berisi tulisan curhatan, daripada cerita selama saya mengikuti curatorial tour di Artjog tanggal 20
Agustus 2019 lalu. Jadi, selamat membaca dan maap-maap, ya… ◕3◕)/
*** ***
Gelar pendidikan
terakhir saya, sih, memang S.Sn.
SEKOLAH-STANDAR-NASIONAL.
Bukan, ding, Sarjana Seni.
Tapi sebenernya, saya
itu enggak nyeni-nyeni amat.
BENERAN.
Ketika kebanyakan anak-anak
seni (terutama yang fokus di bidang seni
rupa) lihai menuangkan unek-uneknya kedalam sebuah sketsa melalui
goresan-goresan pensil atau semacamnya, saya sampai saat ini baru bisa
menggambar manual ala kadarnya. Bukan. Bukan karena enggak berbakat atau apa.
Ini sebenernya lebih ke faktor males karena tangan saya enggak pernah saya
latih buat nggambar aja. Alhasil, ya, jadi begini. Menjadi anak seni rupa yang
tidak jago nggambar. He…
Lagi, ketika sebagian
besar orang seni selalu diidentikkan dengan penampilannya yang unik dan
nyentrik, penampilan saya malah sebaliknya. Gaya berpakaian biasa-biasa saja. Paling
sekedar pakai kaos gratisan dari acara kepanitiaan kampus, celana jins panjang
yang warnanya mulai pudar, sama sandal jepit swallow warna hijaow. Sudah cukup.
Pun dengan gaya rambut orang seni yang biasanya gondrong atau mempunyai gaya
unik tersendiri, rambut saya malah cuma tak potong pendek rapi.
Sebenernya, jaman
kuliah dulu pernah, sih, nggondrongin rambut biar terlihat lebih edgy dan artsy. Heleh. Tapi durasi rambut gondrong saya itu pol-polan
hanya bertahan selama satu semester, alias enam bulan saja.
Kenapa? Karena setelah
enam bulan kuliah, otomatis liburan semester yang ekstra panjang akan segera datang.
Yang secara tidak langsung, mau tidak mau, selama liburan saya bakal pulang ke
rumah dan bertemu dengan bapak-ibuk. YANG MANA LAGI, ibuk saya ini sering
sekali mengomentari rambut gondrong sebahu hasil kerja keras serta kesabaran
saya dalam memanjangkan sang rambut selama satu semester nitip absen yang
berkedok kuliah di UNS Solo.
“Di Solo memangnya enggak ada tukang cukur apa, Rip (Nama
panggilan saya kalau di rumah, –Arip)?”
Kalimat di atas biasanya
bisa berkali-kali ditanyakan ke saya, selama rambut gondrong berpolem (poni
lempar) badai masih bertengger mesra di kepala. Ya, daripada membuat beliau risih
dan bisa berujung dengan tidak dianggapnya lagi saya sebagai seorang anak,
dengan sedikit berat hati, akhirnya, rambut rutin saya potong setiap enam bulan
sekali.
ENAM BULAN SEKALI (dengan catatan pas mau pulang ke rumah saja, hahaha).
**Setelah lulus kuliah, jadi makin sering malahan. Dua apa tiga bulan sekali saya rutin potong ke tempat cukur. Sebenernya pengen punya rambut gondrong lagi, tapi enggak tahu kenapa, rambut saya ini sekarang gampang rontok. Terutama rambut bagian depan yang dulu bisa dibuat model polem. Sekarang, mah, tinggal nyisa seupil dibagian tengah doang. Pernah saya coba panjangin lagi, jadinya malah aneh. Kaya’ rambut Deddy Corbuzier jaman dulu yang mirip bentuk love itu. Hawagu banget ogg, yowes, potong pendek weh!
**Setelah lulus kuliah, jadi makin sering malahan. Dua apa tiga bulan sekali saya rutin potong ke tempat cukur. Sebenernya pengen punya rambut gondrong lagi, tapi enggak tahu kenapa, rambut saya ini sekarang gampang rontok. Terutama rambut bagian depan yang dulu bisa dibuat model polem. Sekarang, mah, tinggal nyisa seupil dibagian tengah doang. Pernah saya coba panjangin lagi, jadinya malah aneh. Kaya’ rambut Deddy Corbuzier jaman dulu yang mirip bentuk love itu. Hawagu banget ogg, yowes, potong pendek weh!
Pernah gondrong dan berpolem (detail poninya kaya' di foto profil blog ini--wkwk). Terus karena rontok, kepala pernah saya botaki dan saya olesi minyak kemiri yang katanya bagus buat pertumbuhan rambut--tapi tetep aja enggak ngefek. Dan sekarang jadinya seperti foto pojok paling kanan. Rambut depan yang tumbuh cuma bagian tengah doang. Pinggir-pinggirnya ilang. T___T (ada, sih, tapi enggak bisa panjang).
Nah, satu lagi alasan
yang membuat saya mendapat predikat sebagai anak seni yang enggak nyeni-nyeni
amat adalah, enggak pernah dateng ke pameran seni.
Terakhir ke pameran,
kalau enggak salah pas jaman kuliah. Itu pun karena yang ngadain adalah
anak-anak Fakultas Seni Rupa dan Desain satu angkatan, yang otomatis saya dan
teman-teman kelas juga ikut jadi panitia, peserta, dan penonton pameran itu.
Hahaha. Payah sekali memang kalau dipikir-pikir saya ini. Ra nyeni blas!
Cerita
Menuju Jogja…
Mumpung selo (selo terus padahal), kerjaan beres, dan
alkhamdulillah masih dapet tiket kereta Prameks, akhirnya lima hari sebelum
pameran ditutup, berangkatlah saya ke Museum Nasional Jogja buat nonton Artjog
2019.
Setelah melewati drama
gagal membungkus nasi sayur untuk rapelan sarapan dan makan siang, karena harus
buru-buru masuk stasiun demi menuntaskan sebuah hajat mendesak bernama kér-bo
di let-toi-let stasiun, akhirnya, saya beserta ratusan penumpang Kereta Api
Prambanan Ekspres lainnya, perlahan mulai meninggalkan Stasiun Solo Balapan
menuju Kota Bakpia, Jogjakarta.
Deru mesin lokomotif yang
sesekali diselingi suara deritan roda gerbong kereta sepanjang jalur rel Solo –
Jogja, menjadi langgam “merdu” yang menemani perjalanan saya siang itu. Terdengar
harmonis dengan beragam aktivitas yang dilakukan oleh para manusia di dalamnya.
Ada yang fokus mengotak-atik smartphone,
ngobrol basa-basi dengan penumpang disebelahnya, melamun dengan tatapan kosong
ke luar jendela, tidur di atas kursi dengan berbagai gaya, serta tak lupa, saya
yang sedang asyik mengunyah sepotong Roti O demi tuntutan perut yang gagal nge-brunch nasi rames bungkus, karena
harus kér-bo di let-toi-let stasiun.
Tujuh puluh lima menit
berlalu, akhirnya rangkaian ular besi berwarna hijau abu-abu ini sampai di
Stasiun Tugu yang menjadi stasiun pemberhentian terakhir di rute perjalanan siang
itu.
Assalamualaikum,
Jogja, saya tiba…
Nah, niatan saya
setelah keluar dari stasiun, sebenarnya ingin langsung memesan ojek daring
menuju Museum Nasional Jogja. Tapi apa daya, sepotong Roti O dengan rasa kopi yang
saya beli, ternyata tak mampu memenuhi hasrat kenyang bagi lambung saya setelah
keluar dan turun dari kereta. Alhasil, saya putuskan untuk mampir nyari makan lagi
disekitaran Jalan Malioboro.
Mumpung masih ada waktu
sekitar ±30 menitan sebelum curatorial tour Artjog dimulai, oke, makan dulu.
Insyaallah masih kekejar waktunya!