بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّØْÙ…َÙ†ِ اارَّØِيم
Sedih banget kalau
lihat sidebar “archive” 3 bulan ke belakang. Masak iya, isi blogpostnya cuma
2-1-2. Tak produktif sekali kisanak satu
ini. Padahal resolusi saya setelah hijrah ke self domain, salah satunya
aktif ngeblog dengan minimal ngepost 4 tulisan tiap bulannya. Yaaa…tulisan
apapun itu. Jalan – jalan, tulisan buat lomba, atau sekedar curhatan yang saya
kasih tag mongopoh, mungkin? Tapi….gagal lagi, yakan?
Bikin #wisnutrivectorwork versi Ramadan gagal, tes CPNS gagal,
resolusi 4 tulisan per bulan pun gagal?
Astaghfirullahaladzim…
Baca Juga : Gagal Bikin #wisnutrivectorwork Edisi Ramadan
Baiklah, kita lupakan
kegagalan – kegagalan itu, sambut hari baru, lalu jalan – jalan terlebih dulu,
agar masa depanmu lebih seru.
Hu, W . A . G . U
***
Sudah nggak asing kan
dengan jalan bernama Malioboro? Yapyap, jalan paling ter-femes sekaligus salah satu destinasi wajib bagi para wisatawan
ketika berkunjung ke Kota Bakpia. Jalan yang membentang dari sisi utara ke
selatan ini bisa diibaratkan sebagai “wajahnya” Kota Jogja. Kenapa? Karena di kawasan
inilah hampir sebagian besar warga Jogja beraktifitas dan mencari nafkah. Maka
tak heran jika Jalan Malioboro selalu ramai, baik itu siang, sore, maupun malam
hari.
Tapi, apakah kalian
tahu seperti apa suasana Malioboro di pagi hari? Apakah juga ramai dan macet
seperti saat siang hingga malam tiba?
Hambuh, rung tau dolan Malioboro isuk – isuk aku, ogg…
Iiiiiisss – iiiiiisss….
Tidak terlalu ramai
sih, malah bisa dibilang sepi. Saya sempet iseng – iseng nih mampir ke
Malioboro di pagi hari, ketika perjalanan dari Solo ke Purworejo. Setelah
kurang lebih 1,5 jam perjalanan dari Solo, pukul 07.30 saya sampai di kawasan
Malioboro. Dan jalanan Malioboro waktu itu memang cukup lengang. Ada lah
kendaraan lewat, tapi nggak terlalu ramai.
Jalan untuk pedestrian yang luas |
Hal istimewa yang bisa
kita lihat ketika sampai di daerah Malioboro, yaitu luasnya jalan bagi pedestrian di sisi timur jalan utama.
Ya, jalan yang dahulu sering digunakan sebagai lahan parkir ini, sejak 2016
lalu sudah dipoles dengan beragam instalasi seni menarik dan bangku – bangku
kayu bergaya klasik. Sepintas, menurut saya seperti Jalan Asia – Afrika di
Bandung sana. Sementara itu, lahan parkir untuk sepeda motor kini dipindahkan
di sebelah utara Malioboro. Tepatnya di sisi timur Stasiun Tugu.
Nah, berhubung saya
mau jalan – jalan sebentar di sekitaran Pasar Beringharjo, kalau parkir sepeda
motor di sebelah timur Stasiun Tugu tersebut, saya pikir jalan kakinya terlalu jauh.
Alternatifnya ya, parkir di sekitar pasar, daaan alkhamdulillah ada.
Keluar dari tempat
parkir, telinga saya langsung terpancing dengan alunan musik dari musisi
jalanan khas Jogja. Suara calung bambu, drum sederhana dari tong plastik dan karet ban, serta suara dari beberapa alat musik
lain menjadi perpaduan nada yang unik dan asyik untuk dinikmati pagi itu.
Yakin ini, pagi – pagi udah ada grup calung bambu beraksi di
Malioboro?
Oo, ternyata waktu itu
ada kompetisi calung yang diselenggarakan oleh Polda DIY dalam
rangka HUT Lalu Lintas ke-62.
Di rekam buat insta story dulu lah…
Eh, 15 menit kemudian
ada komentar masuk dari blogger kece fenomenal badai yang saat ini lagi jalan –
jalan keliling Sumatera bernama bernavita. Katanya, “Gils, pagi2 udah disana.”
Ya tak jawab aja kaya gini… Wkwk.
Masih geli sama yang dia ngasih tau "mau mampir ke Purworejo, tapi nggak jadi" Lha aku kudu pie, wes? Wkwk |
FYI nih, jadi kakak
blogger satu ini lagi keliling Sumatera bareng temen – temen dari Darmawisata Bagimu Negeri. Nggak
tanggung – tanggung lho, jalan – jalan selama 41 hari. NON STOP! Gillllaaaa…..
Opo ra sampek gumoh – gumoh, kuwi?
Oiya, blognya Mbak
Bena bisa kalian kepo – kepo di benbernavita.com,
yes!
Setelah puas dengan
suara calung khas musisi Jogja, saya lanjut jalan ke arah utara. Sepanjang
jalur pedestrian ini, kita bisa
menyaksikan puluhan gerobak dari pedagang yang masih tertutup rapi dengan
terpal warna – warni. Ada juga beberapa ibu – ibu yang mulai melepas tutupan
terpal tersebut dan bersiap untuk membuka lapaknya di sekitaran Malioboro. Tahu
kan apa isinya? Ya, pernak – pernik yang biasa dijadikan buah tangan para
pelancong ketika mengunjungi Jogja, khususnya Malioboro. Ada kaos, gelang, sandal, tote bag dan yang
paling iconic biasanya gantungan
kunci bertuliskan “I Love Jogja”.
Gerobak dagangan yang di tutup terpal |
Satu hal yang mungkin
bisa kita temui di Malioboro ketika pagi hari saja adalah banyaknya penjual
sarapan. Dari ujung utara hingga ujung selatan, semua ada. Mau sarapan apa?
Silakan pilih sesukamu. Komplit. Bubur ayam, ada. Nasi rames, ada. Sate ayam,
ada. Gudeg Jogja yang melegenda juga ada. Nah, pas banget kan dari kost belum
sarapan, eh di Malioboro ketemu beginian. Cuslah, saya milih ke angkringan aja. Yaaaah…malah angkringan.
Depan Mall Malioboro yang biasanya steril dari pedagang pun, kalau pagi digunakan untuk jualan sarapan |
Jangan salah, makan di
angkringan, atau kalau istilah Solo-nya lebih dikenal dengan sebutan “HIK”, itu
banyak benefitnya lho. Pilihan menu banyak, tapi harga tetep bersahabat.
Kemarin nih, saya makan 2 sego kucing,
1 gelas Good Day anget, 2 tahu bacem,
1 dadar gulung, plus setusuk sate ayam, cuma habis ceban – 10 ribu doang. Mantap jiwaaaa…
Baca Juga : 10 Istilah "Aseli Solo" yang Wajib Anda Ketahui
***
Yaaa, kurang lebih seperti
itulah suasana Jalan Malioboro Jogja di pagi hari. Sepi dan belum terlalu
banyak kendaraan berlalu-lalang. Cocok banget buat yang mau nyari atmosfer
berbeda dari Kota Jogja sembari menikmati sarapan bersama keluarga atau orang
tercinta.
Halah, situ aja jomblo… mbahasnya cinta – cinta.
Yowes, tak lanjut pulang ke Purworejo dulu, weh. Bye!
Bonus :
E lha kok di daerah
Bantul nemu beginian? Hahaha