Menyusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Banjarsari

Rabu, Januari 22, 2020


بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Sebelum berangkat, sebenarnya saya ragu-ragu saat menuju Stasiun Solo Balapan. Selain mendung yang makin menjadi, akun @soerakartawalkingtour juga tak kunjung menampilkan instastory baru untuk memberitahukan titik kumpul peserta yang akan mengikuti walking tour sore itu. Padahal, sudah lebih beberapa menit dari “jam janjian” yang dipublikasikan oleh sang admin instagram.

Apa mungkin dibatalkan karena faktor cuaca?

Tak mau terus berasumsi, saya menepi dan berhenti sejenak untuk membuka instagram di ponsel pintar. Sambil menggulir postingan yang ada di lini masa, sesekali saya mencoba merefresh beranda instagram demi mendapatkan kepastian dari pihak Soerakarta Walking Tour.

***

Lima menit berselang, hal yang saya tunggu-tunggu akhirnya muncul. Lingkaran berwarna merah jambu dengan gradasi jingga ungu, tiba-tiba keluar menampakkan diri di sebelah kanan foto profil akun instagram yang saya miliki.

Meeting point kita sore ini…

Begitu bunyi kalimat instastory dari akun @soerakartawalkingtour. Dengan visual yang menunjukkan tulisan “Stasiun Solo Balapan”, cerita yang dibuat menggunakan fitur boomerang itu menjadi sebuah informasi penting bagi saya dan peserta walking tour lainnya.

Soerakarta Walking Tour Banjarsari
 Meeting point

Ditemani awan mendung dan embusan angin sore Kota Solo, saya kembali memacu sepeda motor menuju Stasiun Solo Balapan. Setelah mendapat tempat parkir yang tepat, saya kemudian berjalan menuju titik kumpul yang telah diberitahukan. Ayunan kaki yang sesekali saya selingi dengan berlari, akhirnya berhasil membawa saya untuk bertemu dengan peserta walking tour lain yang tengah khusyuk menyimak penjelasan dari guide.

Sebelum ada kereta, dulu masyarakat Solo masih mengandalkan aliran sungai dan perahu kecil sebagai sarana transportasi utama. Sebagai contoh adalah pemanfaatan aliran Kali Jenes di Laweyan (digunakan untuk mengangkut batik), serta Kali Pepe yang ada di sekitar Pasar Gede (digunakan untuk mobilitas barang-barang dagangan). Nah, karena beberapa faktor, seperti debit air sungai yang mulai mengecil, pemerintah Hindia Belanda mulai membutuhkan sarana transportasi yang tepat untuk mengawasi daerah kekuasaan mereka, serta Mangkunegara IV juga membutuhkan akses cepat untuk mengirim gula produksi dari Pabrik Colomadu dan Pabrik Tasikmadu ke luar Solo, maka dibangunlah Stasiun Solo Balapan pada tahun 1864.

Soerakarta Walking Tour Banjarsari
Kali Pepe di sekitar Pasar Gede yang mulai bersolek untuk menyambut imlek
Kurang lebih seperti itu sedikit penjelasan yang disampaikan oleh Mas Bowo & Mas Aji kepada peserta walking tour. Selesai dengan cerita awal mula berdirinya Stasiun Solo Balapan, kami diajak berjalan ke arah selatan untuk menuju lokasi peninggalan sejarah berikutnya.

Bangunan yang didominasi dengan cat berwarna biru muda, dengan senang hati menyambut kedatangan kami. Papan nama bertuliskan RRI Surakarta menjadi tanda, bahwa gedung yang sedang kami lihat ini merupakan salah satu stasiun radio tertua di Kota Solo.

Munculnya siaran radio di Solo tak terlepas dari adanya siaran yang dikelola oleh pihak kolonial. Pada masa itu, siaran radio hanya terbatas pada pemutaran lagu-lagu barat, yang umumnya didominasi oleh bahasa Belanda.

Tak mau ketinggalan dengan radio Belanda, KGPAA Mangkunegara VII kemudian memberikan sender (transmitter) kepada Perkumpulan Karawitan Mardi Laras Mangkunegaran. Transmitter ini digunakan untuk menyiarkan pentas karawitan serta wayang orang dari Taman Balekambang secara bertahap.

Nah, pada tanggal 1 April 1933, berdirilah Solosche Radio Vereneging (SRV) atau dikenal juga dengan nama Perkumpulan Radio Solo. Seiring berjalannya waktu, radio yang menjadi cikal bakal berdirinya RRI Solo ini semakin hari semakin berkembang dan memiliki banyak anggota. Dari yang semula hanya siaran di Pendopo Kepatihan Mangkunegaran, kemudian mulai pindah ke gedung RRI Solo yang berdiri hingga sekarang. Baru setelah Indonesia merdeka, pemancar radio SRV diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia dan berubah namanya menjadi RRI Surakarta.

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Masih semangat, ya? Karena kita masih punya dua lokasi lagi yang akan dikunjungi hari ini…

Kalimat itu muncul saat Mas Bowo dan Mas Aji mengajak kami keluar dari halaman RRI Solo. Walking tour sore itu kemudian berlanjut dengan berjalan menyusuri gang-gang kecil yang ada di sebelah timur gedung RRI. Gang yang pernah saya ulas dan tulisannya pernah tayang di blog ini, namun kemudian saya takedown karena satu dan lain hal. **Jika kalian lumayan mengikuti blog wisnutri.com, mungkin kalian pahamlah, ya, tulisannya yang mana…hehehe.

Delapan menit berselang, rombongan kami akhirnya sampai di pemberhentian selanjutnya; Ponten Mangkunegaran.

Berbeda dengan gedung RRI Solo yang cukup “mencolok”, sebenarnya keberadaan Ponten Mangkunegaran agak susah ditemukan jika mata kita tidak jeli. Posisinya yang menjorok masuk ke dalam gang, membuat Ponten Mangkunegaran seolah tenggelam di tengah padatnya perkampungan warga.

Tidak bisa dipungkiri, sungai memang menjadi salah satu pusat aktivitas bagi warga. Selain dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, kala itu, masyarakat Solo juga menjadikan sungai sebagai tempat untuk mandi, mencuci, bahkan membuang kotoran. Hal seperti ini tentu terjadi hampir di setiap aliran sungai, tak terkecuali di aliran Kali Pepe yang melintasi Kampung Kestalan, Banjarsari, Surakarta.

Tak mau terus warganya melakukan aktivitas MCK (mandi, cuci, kakus) di sungai yang mulai kotor, Mangkunegara VII kemudian memerintahkan untuk membangun sebuah sarana MCK umum yang lebih bersih. Dengan bantuan arsitek dari Belanda bernama Thomas Karsten, terciptalah Ponten Mangkunegaran yang mulai dibangun pada tahun 1937.

Bangunan berukuran 8X12 meter ini terbagi menjadi beberapa bilik. Di sisi kanan kiri, terdapat bilik yang memiliki beberapa pancuran dan balok-balok beton yang biasa digunakan untuk mandi. Sedangkan di bagian belakang ponten, ada beberapa bilik kecil yang dilengkapi dengan kakus serta bak penampungan air.

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Nah, satu hal penting yang tak boleh kalian lewatkan adalah asal-usul dari nama ponten itu sendiri. Dari penjelasan Mas Bowo, Mas Aji, serta sumber yang saya baca, ponten merupakan pergeseran penyebutan dari kata fountain yang berarti air mancur. Kenapa “fountain”? Karena Thomas Karsten sendiri dulunya memang melengkapi bangunan berwarna putih ini dengan air mancur di bagian atasnya.

Meskipun Ponten Mangkunegaran sudah tidak digunakan lagi, namun bangunan yang sudah berusia delapan dasawarsa lebih ini masih cukup bersih dan terawat. Adanya pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar ponten juga membuat Ponten Mangkunegaran sangat cocok dijadikan sebagai tempat “ngadem” dari panasnya sengatan matahari di Kota Solo.

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Selesai mendengar narasi dari Ponten Mangkunegaran dan berfoto bersama, rombongan tour kembali meneruskan perjalanan. Hari yang semakin gelap, membuat langkah kami berubah sedikit lebih cepat saat melewati gang-gang sempit menuju destinasi terakhir. Setelah menerjang padatnya kerumunan orang yang lalu-lalang di antara lapak pedagang Pasar Legi, sampailah kami di Monumen 45 Banjarsari.

Tadi ada yang baca tulisan di atas pintu gerbang, nggak?

Mas Aji membuka narasi tentang Monumen 45 Banjarsari dengan sebuah pertanyaan yang diajukan kepada peserta walking tour. “Villa Park Banjarsari, mas!” Jawab seorang ibu yang tengah duduk di dekat Monumen 45 Banjarsari bersama peserta walking tour lain.

Ya, betul! Jadi, selain dikenal sebagai Monumen 45 Banjarsari (tapi masyarakat Solo lebih sering menyebutnya dengan Monumen Banjarsari saja), tempat ini juga memiliki nama lain, yaitu Villa Park Banjarsari.

Soerakarta Walking Tour Banjarsari

Villa Park Banjarsari dulunya merupakan sebuah lapangan pacuan kuda yang sengaja dibangun untuk menghibur para bangsawan. Seiring berjalannya waktu, lapangan ini kemudian diubah menjadi kompleks hunian bagi orang elit Eropa oleh Mangkunegara VI. Dengan gaya arsitektur Indisch (perpaduan gaya Eropa dengan adat Nusantara), rumah-rumah mewah itu dibangun mengelilingi taman yang sekarang kita kenal dengan Monumen Banjarsari.

Tapi jangan kaget jika sekarang kita memang susah untuk menemukan vila peninggalan bangsa Eropa ini. Dari jumlah total 92 rumah mewah, sekarang yang tersisa hanya tinggal beberapa saja. Itupun lokasinya agak jauh dari taman (Monumen Banjarsari) dan sudah tertutup dengan bangunan baru.

**Sebenarnya, Mas Bowo dan Mas Aji sempat menyebutkan titik lokasi dari sisa vila-vila mewah ini berdiri. Tapi ternyata tidak saya tulis di aplikasi catatan yang ada di ponsel pintar. Alhasil, ya, saya tidak jadi menginfokan di mana tepatnya vila-vila itu berada (“n_n)V

Soerakarta Walking Tour Banjarsari
Foto bersama di depan Monumen 45 Banjarsari | Sumber : Instagram @soerakartawalkingtour
Sahutan suaran azan mulai berkumandang di sekitar Villa Park Banjarsari. Awan mendung yang semula bergelayut di atas langit, ternyata tak jadi menurunkan rintik air hujan di Kota Bengawan. Ditemani temaram lampu jalanan yang baru menampakkan binar cahaya, rombongan walking tour kemudian kembali berjalan menuju titik kumpul awal, yaitu Stasiun Solo Balapan.

Soerakarta Walking Tour Banjarsari
 Rute walking tour. Garis berwarna merah merupakan rute yang kami lalui saat menyusuri peninggalan sejarah yang ada di daerah Banjarsari. Sementara garis berwarna biru adalah rute jalan pulang dari Monumen 45 Banjarsari menuju Stasiun Solo Balapan.

You Might Also Like

24 comments

  1. Kata "fountain" mengingatkan saya pada gim Dota. Hancurkan! Haha.

    Susah sih mempertahankan vila modelan Eropa gitu. Entah karena ada yang takut karena merasa angker, atau pengin dibangun bentuk lain atau rumah sesuai keinginan, atau apalah.

    Kamu rutin ikut tur berjalan atau sejenisnya ya, Wis? Cocok banget sama tema tulisan di blog ya. Di Jakarta juga ada setahu saya, tapi seumur-umur baru ikutan sekali. Itu pun bareng bloger perjalanan. Kalau yang sama komunitas sejenis Commutrip dan ... (aduh, saya lupa namanya) selalu batal karena janjiannya sering pagi-pagi banget. Saya mesti bantu dagang. Mau nyusul keburu malas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru 2X ini juga, Yog. Biasanya kalau nggak bentrok sama jam kerja ya bentrok sama jadwal pulang kampung. Nah, kebetulan pas walking tour ini sore, jadi bisa ikut.

      Hapus
  2. Ini tuh dalam rangka apa sih, Wis? Apa emang ini semacam komunitas yang senang jalan-jalan aja? Wkwk di kotaku gak pernah nemu soalnya jadi gatau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, semacam itu, Man. Jalan ke tempat-tempat bersejarah di sekitar Solo.

      Hapus
    2. Berarti habis ke rumah mantan juga? Kan bersejarah tuh pasti.

      Hapus
  3. Kota solo usianya sudah sepuh juga ya nu

    Hmmm sebenernya baru kemaren aku ngecak ngecek traveloka mau booking hotel sekitar solo, e nemu lokasi yang di banjarsari, tau ada lokasi beginian yang sarat nilai sejarah, kok kayaknya mengasyikkan ya kalo mampir ke sini buat ngadem #bilang aja buat bikin konten mbak nit ahhahahahahha

    Lha jangankan di solo jaman dulu nu, purworejo daerah baledono apa yah, kalau ga salah pas pantaran aku masih sd, kan ada sungai tuh, soale tanteku adeknya bapak tinggal di sono, sungainya pun dipakai buat sehala aktivitas termasuk cuci, masak, bahkan ada yang buat media 'cemplung-cemplung' alias b e be r a ra k huahahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada acara apa mbak ke Solo? Wisudaan adik kah? Apa cuma mau liburan semata?

      Hahahaha, bener itu. Sekarang pun masih dipakai buat cuci dan buang-buang mbak. Tapi kalau buat masak, aku kurang paham sih. Bukan warga Baledono juga XD

      Hapus
  4. kayaknya asyik banget ikut soerakartawalkingtour.. mau ikut boleh bang? haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asal Soerakarta Walking Tour juga pas ada jadwal "jalan", mah, boleh-boleh aja. Langsung meluncur ke Solo.

      Hapus
  5. Saya sudah lama sekali tidak mendengar istilah ponten. Dulu tahun 80'an saya di Surabaya, biasa dengan istilah ini.

    BalasHapus
  6. wah aku belum tau ke RRI mas
    aku penasaran sama radio jadulnya
    ke Ponten ngebrusan emang kudu jeli
    tapi bagus buat foto foto emang
    sayange sepi

    ke villa park aku dulu mek lewat
    daerah banjarasari masuk wilayah Mangkunegaran ya
    dulu adipatinya yang ketuju ngopeni banget wilayahnya jadi banyak yang masih bagus gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, mugnkin karena memang lokasi ponten yang agak "mblusuk" di tengah-tengah perkampungan, jadinya banyak orang yang nggak tahu. Saya aja baru tahu pas baca blogpost'e njenengan XD

      Hapus
  7. Aku merasa menyesal baru tahu kl deket stasiun solo byk destinasi asyik yg bisa menambah wawasan sejarah. Syem tenan yaaa pas ke solo ga mlipir tempat2 di atas. Btw knp tulisannya di take down? Jd kepo kan. Wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal itu jarak e juga lumayan deket pakai banget lho, La, sama Balapan :D
      Takut "menjerumuskan", makanya tak masukin ke draft lagi *siapa tahu kalau lagi butuh bacaan rusuh, besok-besok bisa tak publish lagi---Hahahahadasar

      Hapus
  8. Aku penasaran sama tulisan ttng gang di sekitaran RRI...kelewat...😀

    MCK nya umum itu, sekarang termasuk cagar budaya juga Nu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan curhatan rusuh mbak :D Makanya sementara ini tak take down dulu.
      Iya mbak. Udah masuk vagar budaya di Solo.

      Hapus
  9. keren sekali, seperti kota tua yang di jakarta.. bsa belajar sejarah jg nih pastinya

    BalasHapus
  10. Tulisannya keren, serasa ngikut tour sendiri. Deskripsinya juga bagus. Saya paling suka yang di bagian sejarahnya :)

    BalasHapus
  11. wah aku kalau ke Solo ga pernah main sini kang next pengenlah mampir sini, dan baru tahu juga loh tentang kali pepe menarik ya sayang debit airnya kecil

    BalasHapus
  12. Seumur-umur ke Solo belum pernah ke RRi, Ponten Mangkunegara dan Monumen Banjarsari.
    Ternyata wisata di Solo cukup banyak ya, tapi yang terkenal cuma itu-itu aja sampe aku bingung mau ke mana lagi ujung-ujungnya ya ke Mall wkwkwk

    BalasHapus
  13. Saya suka banget kegiatan gini, ke tempat2 yang memiliki nilai sejarah. Soal RRI Solo saya dapat ceritanya juga dari komunitas RRI Bukittinggi.
    Cerita mereka saat agresi Belanda pada 1948-1949, RRI yang masih bisa on air hingga ke luar negeri hanya RRI Solo dan Bukittinggi

    BalasHapus
  14. Seru juga ya walking tour begitu, bisa jalan-jalan, dapat ilmu, dapat temen juga.

    BalasHapus

Yakin udah di baca? Apa cuma di scroll doang?
Yaudah, yang penting jangan lupa komen yes?
Maturnuwun ^^

FIND BLOGPOST

Total Viewers