Botol Kecap Versus Kaleng Sarden

Senin, Oktober 14, 2019

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Pengalaman Membeli Kacamata di Solo

Setelah 1 jam berkeliling di Tumurun Private Museum, kami bertiga kembali berjalan menuju pintu kaca otomatis yang menjadi akses masuk sekaligus akses keluar bagi para pengunjung. Sebelum mengambil tas punggung berwarna hitam yang tergeletak di meja penitipan, tak lupa saya sempatkan untuk memotret pintu kaca yang bertuliskan “Tumurun Private Museum” di atasnya. Lumayan, bisa saya jadikan foto sampul untuk mempercantik tampilan blog post.

Bar iki meh ngendi, Wis?
Mbuh i, mas. Rung duwe acara juga aku.

Melu adewe pie?
Nangdi?
Eiger. Nonton-nonton, karo sopo ngerti mengko yen nemu sesuatu sing menarik.



N . E . M . U . S . E . S . U . A . T . U . S . I . N . G . M . E . N . A . R . I . K


Hahaha, baiklah. Ajakan random di lahan parkiran itu akhirnya saya “iyakan”, daripada harus langsung pulang dan berakhir dengan nglangut sendirian di kos-kosan.

Dengan kecepatan sedang, dua sepeda motor beserta tiga orang penumpang di atasnya itu melaju keluar meninggalkan Tumurun Private Museum menuju Jalan Slamet Riyadi yang menjadi jalan utama di “Kota Berseri” ini. Tak butuh waktu lama, setelah melewati dua perempatan dengan lampu merah, kuning, dan hijaunya, kami bertiga sudah sampai di depan Eiger Store Solo.

Pintu toko dibuka. Sesampainya di dalam, mata saya langsung memindai barang-barang outdoor yang terpajang rapi di seantero toko. Sayang, masih tanggal tua dan belum gajian. Uang dari sponsored post blog juga belum masuk ke rekening bank. Jadi, ya, selama dua puluh menitan di dalam toko, saya beneran cuma “nonton-nonton” doang. Kasihan.


Puas melihat dan hanya membolak-balik label harga dari barang outdoor satu ke barang outdoor lainnya, saya kemudian berjalan ke luar menuju trotoar yang juga dijadikan sebagai lahan parkir kendaraan. Sambil menunggu dua teman saya yang sedang menyelesaikan urusan di dalam toko, tiba-tiba muncullah sebuah keinginan yang tak kalah random daripada ajakan untuk sekedar “nonton-nonton” barang outdoor di Eiger Store.

Habis ini nyoba kir mata, ah.

Sebenarnya, saya sudah mulai merasakan ada keanehan dengan mata itu di akhir tahun 2018 lalu. Kejadian yang bikin ngeh pertama kali kalau mata saya bermasalah pun sepele banget ; mulai ngeblur pas mbaca tulisan-tulisan kecil di papan baliho yang saya temui ketika perjalanan pulang dari Solo ke Purworejo. Nah, parahnya lagi, bukannya langsung periksa ke dokter mata atau pergi ke optik, saya malah enggak begitu menggubris masalah ini. Mungkin karena minusnya masih sangat kecil, jadi efek ngeblur pas membaca sesuatu masih bisa saya tolerir. Kadang malah bikin hipotesis sendiri yang sering saya jadikan sebagai sebuah kalimat penolakkan bahwa mata saya mulai bermasalah.

Oh, mungkin kecapaian. Oh, mungkin kurang tidur. Oh, mungkin terlalu lama di depan laptop. Oh, mungkin karena semalem begadang ngerjain deadline revisian, jadi mata enggak bisa fokus baca tulisan dengan jarak yang lumayan jauh.

Hingga akhirnya di suatu malam yang syahdu, saat saya, kakak, dan ponakan menunggu pesanan martabak telur kesukaan ibu, sebuah kejadian sepele (lagi) seolah meruntuhkan semua kalimat hipotesis di atas dan menyadarkan saya, bahwa mata saya sudah benar-benar mengalami gangguan.

Tulisan menu itu enggak kebaca?
Enggak, mbak.

Itulah pertanyaan sekaligus media tes mata sederhana yang diajukan oleh kakak saya, ketika saya mulai sambat dan rasan-rasan tentang mata yang mulai ngeblur saat digunakan untuk membaca tulisan dengan jarak yang cukup jauh.

Coba periksa aja. Kemungkinan minus itu, wong aku aja masih bisa, lho, mbaca dari jarak yang sama.

WAH…PARAH-PARAH. FIX! KUDU PERIKSA!
_________________________________________________________________________
Ditengah ke-bengong-an menunggu teman yang sedang menyelesaikan transaksi di toko sambil sesekali memikirkan tentang kir mata, tiba-tiba ada sebuah pesan teks yang masuk ke aplikasi WhatsApp saya. Sebuah pesan yang berbunyi :

“Wahai Wisnu, jikalau hati dan bodymu berkeinginan untuk pulang duluan, sejatinya tidaklah mengapa. Saya sepertinya masih agak lama, karena harus menunggu mbak-mbak kasir mencari kaos kaki yang barcodenya bisa di-scan di mesin kasir dulu.”

Hapietokik, malah ada kejadian kaos kaki enggak bisa di-scan di mesin kasir segala. Hahaha. Yowes, sesuai pesan yang tertulis di WhatsApp, akhirnya saya pamit dan meninggalkan mereka berdua untuk kir mata di sebuah optik yang terletak di tengah kota.

Kir Pertama…
Kir mata pertama, saya lakukan di Optik Botol Kecap. Setelah bertemu sang pemilik optik dan dipersilakan duduk, tanpa basa-basi, saya langsung menyampaikan bahwa kedatangan saya di siang itu hanya ingin periksa mata saja, tanpa ada niatan untuk langsung memesan kacamata.

Anda tahu apa yang terjadi selanjutnya? Sang bapak pemilik optik kayak berubah 90o gitu. Dari yang awalnya ramah menyambut kedatangan saya, tiba-tiba jadi agak ketus pas ngecek dan memeriksa mata. Saya kurang tahu apa penyebab pastinya, tapi sepertinya karena saya di awal ngomong “hanya periksa mata saja”. Jadi moodnya sang bapak pemilik optik langsung berubah. Bisa jadi, sih, secara periksa mata saja, kan, gratis itu.

Mungkin di dalam hati sang bapak optik ngomong begini : “Ngapain juga ini bocah, mbuang-mbuang wektu gue doang. Beli kacamata juga kagak. Dasar! Penikmat gratisan!”

Sementara aku : “Yanamanya juga memanfaatkan fasilitas dan program yang ditawarkan optik, pak. Ya enggak salah juga, kan, kalau saya cuma mau kir gratisan?”

HAHAHA….

Selesai melakukan serangkaian tes mata dengan bantuan alat dan disuruh menyebutkan huruf-huruf yang ada di snellen chart, sang bapak optik kemudian menyampaikan hasil pemeriksaan yang kurang lebih seperti ini :

Wah, sudah telat mas. Udah minus satu ini njenengan. Kalau enggak pakai kacamata bisa tambah parah--->Dengan nada agak ketus, tentu saja.

Kaget, dong, saya. Minus satu, coy! Yabaiklah, pak. Tapi maaf, seperti yang sudah saya katakan di awal, saya cuma mau periksa mata saja tanpa ada niatan untuk membeli kacamata di optik bapak. *kemudian langsung kabur*

Kir Kedua…
Sehari setelah kir di Optik Botol Kecap, saya mencoba kir mata lagi di optik yang berbeda, sebut saja namanya Optik Kaleng Sarden. Optik yang menurut saya pribadi (insyaallah) lebih terpercaya karena sudah “memiliki nama” di wilayah Solo Raya. Bapak-bapak karyawan optiknya juga ramah dan cukup kooperatif, meskipun di awal masuk optik, saya juga cuma ngomong “mau periksa mata aja ini, pak.”

Setelah masuk ke ruang periksa dan melakukan tes yang hampir sama dengan tes yang saya lakukan di Optik Botol Kecap, bapak karyawan di Optik Kaleng Sarden kemudian memberitahukan hasil pemeriksaan. Yang bikin saya kaget, ternyata hasil tes dari kedua optik ini berbeda. Pas di Optik Botol Kecap, katanya minus 1, tapi pas coba diperiksa di Optik Kaleng Sarden, kedua mata saya sudah bisa melihat dengan jelas ketika dipasangkan lensa yang biasa digunakan untuk orang-orang yang mengalami minus 0,75. Bismillah, semoga beneran minus yang 0,75 saja.

Baiklah, karena optiknya sudah “punya nama”, bapaknya ramah dan kooperatif, hasil pemeriksaan dari Optik Kaleng Sarden juga insyaallah lebih meyakinkan, akhirnya saya memutuskan untuk sekalian memesan kacamata di optik ini.

Masnya mau nyari kacamata yang harga berapa?

( ( ( Yailah, bapak, budget saya mah enggak banyak-banyak ini. Segala ditanya mau nyari yang harga berapa. YANG PALING MURAH PASTI, LAH! ) ) )

Setelah mendengar penawaran harga dan pilihan lensa serta model frame yang ada, akhirnya saya berhasil mendapatkan satu buah kacamata seharga Rp 175.000,- dengan rincian ; harga frame paling murah, yaitu Rp. 75.000,- (setelah saya tawar dari harga awal sebesar Rp. 100.000,-), dan harga lensa biasa Rp. 100.000,-.

Pengalaman Membeli Kacamata di Solo
Kacamata dan saos sachet sisa dari paketan ayam goreng Popeye dan Olive.

Sebenarnya si bapak Optik Kaleng Sarden sempat menawarkan lensa anti radiasi, tapi berhubung budget saya terbatas, sementara belum tak ambil. Masih penasaran juga, sih, apa beneran ngefek ke mata, karena pas saya coba tanya ke temen yang pakai lensa anti radiasi ini, satu orang njawab lumayan ngaruh –enggak cepet bikin mata capek, sementara temen saya satunya menjawab “podo wae, Nu”.

Jadi, sebagai akhir dari tulisan sesi curhat receh nirfaedah ini, saya butuh pendapat temen-temen pembaca yang berkacamata sekaligus yang pernah atau sedang menggunakan lensa anti radiasi ;

“SEBENERNYA NGEFEK ENGGAK, SIH, LENSA ANTI RADIASI BUAT MATA KITA?”

Atas tanggapan dan komentarnya, saya ucapkan terima kasih –Jazzakumullahu khairan…


Tertanda
Seorang newbie yang baru 49 hari berkacamata.

You Might Also Like

37 comments

  1. ((Uang dari sponsored post blog juga belum masuk ke rekening bank)) Ya, Allah. Terwakilkan di kalimat itu. Wqwq.

    Loh, seriusan langsung jutek ketika tahu enggak jadi beli dan cuma periksa? Padahal mah wajar aja ngecek. Namanya pelayanan kan. Siapa tahu nanti pas punya uang balik lagi. Tapi saya sendiri orangnya enggak enakan. Biasanya bakalan tetap beli di situ hari itu juga. Jadi dari awal harus riset dulu toko yang sekiranya murah sekaligus bagus. Ehe.

    Hmm, gimana ya, tergantung sugestimu aja sih, Wis. Buat saya sih ngefek pakai anti radiasi. Mata lebih kuat memandangi layar selama menulis atau baca buku digital ketimbang enggak pakai. Saya juga minus, tapi lupa angkanya. Kalau enggak salah satu koma sekianlah. Saya menganggap itu belum parah. Toh, melihat tulisan dari jauh, masih lumayan terbaca selama tidur cukup.

    Terus saya juga pernah dengar mitos dari teman, pakai kacamata minus justru nantinya bikin ketergantungan dan minusmu jadi nambah. Akhirnya saya pakai kacamata antiradiasi aja, berikut anti sinar matahari (nanti otomatis jadi gelap kayak kacamata hitam), anti uap, dst. Harganya 375 ribu. Wahaha, mahal betul. Karena bingkainya sendiri udah 150, sih. Sialnya, udah beli mahal-mahal, baru setahun malah patah. Asu tenan.

    Akhirnya beli yang lebih murah aja. Antinya cukup yang radiasi dan uap aja, masih tetap tanpa minus. Saya pilih yang bingkainya bulat. Totalnya seharga 200 ribu. Berarti yang mahal kan anti sinar matahari itu biar enggak silau.

    Nanti bulan depan atau akhir tahun mau cerita soal kacamata juga, ah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi selama ini jenis lensa kacamata itu banyak macemnya? Kemarin bapak optiknya cuma nawarin lensa minus biasa sama lensa yang plus anti radiasi doang. Apa di Solo belum ada lensa yg anti uap, matahari, ya?

      Itu lensa anti radiasi + uap tok, tanpa minus, berarti pas dipakai mata kita tetep ngeblur gitu Yog, misal lihat tulisan / sesuatu?

      Hapus
  2. Eh sekalian masukin perbandingan harganya dong antara yang anti radiasi sama yang anti nuklir. Kalau ada yang anti miskin sekalian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pabrik-pabrik lensa kacamata, tolong wujudkan lensa yang terakhir itu, tolong sangat...

      Hapus
  3. Wahahahaa akhirnya aku mampir ke sini lagi. Kacamatamu mirip sama kacamataku zaman SMA, Nu, kotak dan berwarna cokelat. Pantes kok pas aku di Solo nyinggung soal anti radiasi, eeeh, ternyata kepikiran bgt toh malah dadi blog post, ancen blogger sejati. Aku seneng judule, Nu. Coba iku foto sambal sachetan diganti botol kecap beneran, epik lah hahahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Zi. Penasaran sama yang lensa anti radiasi sebenarnya. Di kost'an nggak punya kecap xD

      Hapus
  4. Di saya nggak ngaruh, Wis. Entah kenapa. Pokok epilih kacamata selain buat minus mata, ya usahain nyaman di telinga (gak neken kepala berlebihan) serta anti silau atau uap itu kalo bisa.

    anti silau sangat diperlukan kalo sering naik motor pas malem2. asli klo gak pake anti silau, risiko ketbrak truk atau nyusruk jurang makin gede. anti uap itu kalo nemu, saya gak dapet kemaren, itu berguna kalo lagi makan atau pas keluar dari mobil berAC. masa keluar mobil langsung rabun berkabut...

    kalo ttg cepet lelah nggaknya, podo wae~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke, Haw. Terima kasih atas informasinya.

      Penasaran sama lensa yang anti uap + anti silau. Kapan-kapan deh, kalau punya rejeki tambahan ganti lensa baru.

      Hapus
  5. nonton-nonton, ku pikir ke bioskop.
    ealah, ternyata nontonin barang outdoor di eiger store. wkwkwk.. :D

    btw, kenapa sih kacamatanya harus foto bersama dengan 2 saos sachet..? wkwkwk :D

    BalasHapus
  6. Kalau kacamata anti aging gimana ya kak ._.

    Wkwkw saya ngga ngerti kacamata. Kemarin mau beli kacamata, harga asli 60k saya tawar 15k wgwgw

    BalasHapus
  7. Selamat kacamata barunya.... Semoga nggak tambah minus nya. Aku blm pernah test ke optik. Klo aku mbaca jauh masih jelas, cuma belkangan sering kriyip2 matanya...opo Yo istilah e...kedep melulu...

    Kcmta anti radiasi, blm pernah make..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Ternyata nggak enak pakai kacamata mbak :D

      Hapus
  8. Wahahahahhaah wisnuuu kenapa kau membuatku ingin check up mataaaaa. Udah 6 bulan ini nggak balik ke dokter mata karena blm ada rasa2 aneh, tp akhir2 ini mataku rasanya lelah, pedes gitu. Udah minus 1 juga sih. Tp semoga besok pas cek mata ora nambah minus. Uhuhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rutin check-up mata, La?

      Aamiin, semoga masih bertahan di minus 1.

      Hapus
    2. Hooh rutin, Mas.. Biasane 6 bulan sekali. Kadang ya smpe satu tahun sekali, tergantung kondisi mata. Soale kadang suka pusing2 sih karena pengaruh mata minus

      Hapus
  9. welkom tu de klab brother


    bakal siap2 ngalamin lupa nyari kacamata eh padahal udah dipasang di kepala wkwkwk

    faktor U ojok lali mas angkatan awake dewe wis mulai kewut wkwkwk

    kacamataku sekarang juga pakai anti radiasi dan kayake gak ngefek banget cuma ini kalau dibuat motoran mata gak gampang capai sih gak kayak dulu, sejam udah pening huhu

    aku nyicil ke temen 600 ribu ping 12 kali wkwkwk jadi ya gak kerasa
    aku juga gak kuat mas klo cash...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau buat kerja di depan laptop gimana mas? Sama aja kayak lensa biasa atau lumayan "beda"?

      Weh, 600 ribu? Kemarin di Optik Kaleng Sarden, bapak-bapaknya ngasih harga 200 ribu. Beda kualitas mungkin ya?

      Hapus
    2. ada efeknya dikit mas gak gampang lelah pokoknya

      cuma ya tetep sih menurutku klo udah lebih 2 jam udah lelah. sedikit memperpanjang biasanya 1 jaman udah lelah

      Hapus
  10. Aku pikir apaan sarden kaleng dan botol kecap, tenyata optik mata.

    BalasHapus
  11. Sebagai pemakai kacamata anti radiasi, nih gw kasih testi. Kalo lu sering menghadap laptop atau komputer, mata gak cepet lelah. Tapi kalo pakai kacamata yang biasa (tanpa radiasi) baru bentar kepala sudah pening. Gitu.

    BalasHapus
  12. Saya pribadi memakai kacamata minus. Tapi, suami sy selalu pakai kacamata anti radiasi karena pekerjaannya memang butuh itu. Sepertinya sih memang ngaruh ya. Karena nggak mungkin suami sy cuma buat gaya-gayaan kalau nggak ada efeknya.. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih informasinya mbak. Bisa jadi bahan pertimbangan buat saya :)

      Hapus
  13. Sebagai sobat minus dan silindris, aku sih ngerasa gak ngaruh dengan lensa anti radiasi atau apa. Soalnya udah nyoba beli dari yang mahal banget bangsat di toko ternama, sampe beli yang murah meriah di abang-abang yang pasang lensanya nyebrang ke toko depan wkwk. Hasilnya, sama aja~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Another opinion~ Terima kasih atas pendapatnya, mbak.

      Hapus
  14. Laya ga ngaruh lah klo cuma digletakno di atas meja ngono.
    Mana bukti foto berkacamatanya haha

    Tapi pke kacamata itu untuk orang2 yg kuat kok, karena capek pke alat itu. Pegel lama2 pke kacamata, walaupun udah pilih yg ringan. Apa karena ga begitu nyangkut di hidungku yo. Emboh lah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pankapan tak upload foto pakai kacamata, lah, Nggun, di blog receh ini. Tunggu saja waktu tayangnya. Hahaha. Iya, bener memang. Saya juga sekarang paling pakai kacamata kalau pas keluar sama kerja aja. Misal pas santai-santai gabut, enggak pernah tak pakai. Pegel memang. Capek.

      Hapus
  15. mataku itu minus 3 yg kiri, dan yg kanan 2 koma something :D. punya siiih kacamata, tp dipake pas lg nonton di bioskop ato pas sedang meeting yg hrs pake projektor huahahaha. alasannya, ngerasa muka ga pantes pake kacamata, dan aku jdnya lbh milih ttp ga pake walo akhirnya jd setengah buta kalo liat tulisan yg jauh :D. kalo kontak lens aku ga berani mas, krn pernah lupa lepas huahahaha..

    Itu jg sih yg bikin aku ga prnh traveling sendiri. pasti bareng temen ato suami, supaya ada yg bantu liatin jalan :D. segitunya saking ga mau terlihat lucu hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awal-awal saya juga ngerasa "lucu" gitu mbak, pas pakai kacamata. Tapi lama-lama juga biasa aja sih. Wah, kalau kontak lens saya belum berani nyoba. Kayaknya kalau pas copot-pasang-copot-pasang itu ribet dan geli-geli ngilu gitu *bayangin doang padahal ini*

      Hapus
  16. Waaaah dapet banyak insight nih karena eh karena, kayaknya gue mulai sama kayak lo nih. Harus mulai ngecek minus. Huhuuhhuhu. Belum siap berkacamata. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba cek aja, Di. Sebelum telat dan minusnya bertambah banyak.

      Hapus
  17. Kalau memang bisa dihindari saja pakai kacamata Pak... saya sudah dari 2007 pakai kacamata, dan itu sangat tidak praktis

    BalasHapus
  18. Aku baru setahun pakai kacamata. Walaupun merasa mata minus itu sudah lama, hingga pada akhirnya susah untuk membaca tulisan di papan tulis. Minus yaa lumayan besar.

    Akhirnya pakai kacamata dan dilengkapi denga lensa anti radiasi. Jadi kalau di depan laptop mata tidak cepat lelah. Sekarang termasuk dalam golongan orang bermata empat...hahaha

    BalasHapus

Yakin udah di baca? Apa cuma di scroll doang?
Yaudah, yang penting jangan lupa komen yes?
Maturnuwun ^^

FIND BLOGPOST

Total Viewers