Kausa untuk Kembali Bersua dengan Candi Para Dewa
Jumat, Juli 14, 2023Terlihat sosok ibu berusia
senja
berjalan perlahan menuju keramaian. Dengan selembar kain jarik merah bermotif
bunga mawar, ia menggendong beberapa gulungan tikar di belakang punggungnya.
Usianya memang tak lagi muda, namun semangatnya untuk mencari rezeki, masih
jelas terlihat melalui genggaman tangannya ketika mengayunkan tongkat kayu yang
beliau gunakan untuk membantunya berjalan.
Searah
dengan langkah sang “ibu tikar”, nampak puluhan pria dewasa berjajar menawarkan
jasa kuda wisata. Bak sebuah tim marketing yang tengah bersaing, para joki kuda
pun saling berlomba menjemput bola. Dua hingga tiga kalimat bujukan coba mereka
keluarkan layaknya sebuah pariwara sederhana penarik massa. Respon pengunjung
pun beragam. Ada yang menawar, ada pula yang terus melenggang mengikuti
rombongan para pejalan.
Tak
jauh berbeda, di sisi kanan – kiri jalan, kumpulan pedagang lokal tengah
bersiap untuk ikut meramaikan suasana khas tempat pelancongan. Aneka macam
barang dagangan sudah mereka gelar untuk menarik perhatian wisatawan. Mulai
dari cendera mata, minuman untuk melepas dahaga, gorengan dan makanan ringan, serta
tak lupa, aksesoris multifungsi seperti kacamata hitam dan topi untuk
meminimalisir teriknya terpaan cahaya matahari ketika berada di sekitaran candi.
Berawal dari Sini...
Bukan
mendatangi komplek candi. Nyatanya, jujugan
pertama kami adalah satu dari sekian banyak kedai makan yang lokasinya berada
tak jauh dari gerbang masuk. Warung dengan dinding hijau dan krem ini kami
pilih untuk mengisi “amunisi” setelah berkendara selama kurang lebih tiga jam
perjalanan dari Kota Solo menuju kawasan Candi Gedong Songo di Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah.
“Monggo pinarak, mas, mbak...”
Sambutan
hangat ibu penjaga warung langsung terdengar ketika saya dan istri duduk
lesehan di atas karpet yang tergelar. Tak butuh waktu lama, setelah disuguhi
kertas menu, kami berdua menjatuhkan pilihan pada makanan yang hampir sama. Ya,
mi instan goreng dan kuah hangat dengan tambahan telur di atasnya. Sebagai
pelengkap, dua gelas teh panas tak lupa kami pesan untuk menjadi minuman
pendamping yang pas.
Kombinasi
mi instan dan teh panas berhasil menghangatkan tubuh kami yang sedikit
kedinginan karena terkena udara pegunungan. Kehangatan ini pulalah yang akan
menjadi bekal sekaligus awal perjalanan saya dan istri untuk mengeksplorasi area
candi-candi suci para dewa, Candi Gedong Songo.
Saat Pertama Kali
Ditemukan...
Berdiri
di kawasan perbukitan dengan hawa udara yang sejuk, seakan menjadi ciri khas tersendiri
bagi Candi Gedong Songo. Siapa pun yang berkunjung, rasanya jelas akan terpikat
dengan eksotisme candi yang ditemukan pada tahun 1740 ini.
Loten,
seorang peneliti berkebangsaan Belanda adalah satu sosok penting dibalik
penemuan Candi Gedong Songo. Menurut beberapa sumber, beliau menjadi tokoh yang
pertama kali menemukan kawasan Candi Gedong Songo pada tahun 1740. Baru setelah
itu, Sir Thomas
Stamford Raffles, dalam bukunya yang berjudul History
of Java (1817) menuliskan, bahwa ia hanya berhasil menemukan sebanyak tujuh
bangunan candi. Itulah sebabnya, komplek Gedong Songo semula disebut sebagai
Gedong Pitoe.
Seiring berjalannya waktu,
penelitian tentang komplek candi suci ini terus dilakukan. Sejarah mencatat,
ada lima tokoh yang pernah melakukan pendalaman lebih lanjut di kawasan Candi Gedong
Songo. Mereka adalah Laksamana Jacob Pieter van Braam (1925), Friederich dan
Hoopermans (1865), arkeolog Piter Vincent van Stein Callenfels (1908), serta
Knebel (1910).
Setelah ditemukannya dua komplek candi lain oleh Piter Vincent van Stein Callenfels dan Knebel, Gedong Pitoe kemudian berganti nama menjadi Gedong Songo. Gedong berarti rumah atau bangunan, sementara Songo berarti sembilan. Jadi arti kata Gedong Songo adalah sembilan (kelompok) bangunan atau sembilan bangunan candi.
Benarkah Ada Sembilan
Komplek Candi...?
Setelah
sedikit terhenti karena semangkuk mi instan, saya dan istri mulai melanjutkan
perjalanan untuk menjawab rasa penasaran akan keberadaan sembilan komplek candi
yang berada di kawasan Gedong Songo.
Perlahan
namun pasti, langkah kecil dari kaki-kaki kami akhirnya berhasil mengantarkan saya
dan istri mendekat ke sebuah bangunan. Bangunan candi dengan bentuk ramping khas peninggalan
peradaban Hindu yang berdiri sendiri tanpa adanya candi perwara di sekitarnya.
Terlihat
kuno, namun kokoh dan tidak mudah roboh.
Tumpukan
batu berusia ratusan tahun itu masih jelas membentuk satu konstruksi candi yang
cukup sempurna meskipun ada sedikit kerusakan di bagian atapnya. Dilengkapi
dengan pintu masuk dan tangga kecil di bagian depan, sisi luar candi ini
terlihat polos tanpa adanya relief seperti kebanyakan candi pada umumnya.
Dinding luar candi pun hanya dihiasi dengan sedikit pahatan sederhana berbentuk
bunga yang menciptakan bingkai kosong di tengahnya.
Ya! Inilah, Candi Gedong I.
Candi
yang berada di ketinggian 1.208 meter di atas permukaan laut ini menjadi candi
yang terletak paling bawah dari keseluruhan komplek candi yang ada di Gedong
Songo.
Untuk
memasuki komplek Candi Gedong I, pengunjung diwajibkan mengenakan
selembar kain berwarna hitam-putih yang sudah disediakan oleh pihak pengelola.
Kain yang sekilas mirip dengan kain poleng khas Bali ini akan diberikan oleh
dua orang penjaga yang bertugas di depan pintu masuk area Candi Gedong I.
Nantinya, pengunjung hanya dikenakan uang pembayaran seikhlasnya untuk
mengganti biaya perawatan kain yang bisa dimasukkan ke dalam kotak yang
tersedia.
Puas
mengagumi keindahan Candi Gedong I, saya mengajak istri untuk melanjutkan
perjalanan ke Candi Gedong II.
Jalan setapak kembali kami lewati. Dari yang semula masih terlihat datar, perlahan kontur jalan berubah menjadi naik ke atas. Napas yang awalnya stabil dan konstan, sedikit demi sedikit mulai berganti menjadi ngos-ngosan. Tak jarang, sesekali kami berhenti sejenak untuk beristirahat sembari menikmati pemandangan alam yang Tuhan ciptakan di sekitar Gunung Ungaran.
Tiga
puluh menit berlalu, sampailah kami di komplek Candi Gedong II yang di
sampingnya terdapat bongkahan batu berukuran besar. Berdiri di atas batur
berbentuk bujur sangkar dengan luas 2,2 meter dan tinggi 1 meter, Candi Gedong
II terletak di ketinggian 1.274 meter di atas permukaan laut. Selain candi
utama, terdapat pula susunan batu-batu kecil yang sekilas mirip dengan
reruntuhan candi.
Sedikit
saran dari saya, segeralah berjalan ke atas, karena view terbaik dari Candi Gedong II bisa kita dapatkan dari sisi
jalan menuju ke komplek Candi Gedong III.
Sampai di Candi Gedong
III...
Seperti
namanya, di area ini terdapat tiga bangunan candi yang memiliki ukuran berbeda-beda.
Satu candi induk, satu candi apit yang ukurannya sedikit lebih kecil dari candi
utama, serta satu candi perwara yang berada di bagian depan.
Berbeda
dari Candi I dan Candi II, candi utama di komplek ini memiliki ciri khas dengan
ditempatkannya Mahakala dan Nandiswara di sebelah kanan dan kiri pintu masuk
candi. Dinding-dindingnya pun memiliki relung yang terdapat pahatan Ganesha
serta Durga bertangan delapan.
Bonus dari Kawah Gunung
Ungaran...
Tiga
komplek Candi Gedong Songo sudah kami kunjungi. Ayunan kaki yang sesekali
terhenti karena kontur jalan yang berkelok dan bergelombang, terus membawa kami
menyusuri kawasan Gunung Ungaran yang menawan.
Mata saya yang sedari tadi dimanjakan dengan hijaunya pepohonan, tiba-tiba disuguhi dengan kepulan asap putih pekat yang tampak dari kejauhan. Pun dengan hidung yang mulai mencium aroma sedikit menyengat ketika menuruni jalan menuju komplek candi berikutnya. Suara khas dedaunan yang terkena angin pegunungan pun kini bersanding dengan gemuruh yang berasal dari sisi lereng di ujung jalan.
Ternyata kawah Gunung Ungaran-lah sumber dari ketiga peristiwa di atas. Lokasinya yang sedikit tersembunyi di antara dua tebing, memang membuat kawah Gunung Ungaran tidak terlalu terlihat dari bukit di mana candi-candi berdiri. Meskipun begitu, kawah ini nyatanya menjadi daya tarik tersendiri ketika kita mengunjungi komplek Candi Gedong Songo. Selain bisa mengabadikan momen dengan latar tebing berasap, pengunjung juga bisa menikmati sensasi berendam air panas yang bersumber langsung dari kawah tersebut.
Karena
hidung mulai tidak kuat menghirup bau belerang yang semakin menusuk, perjalanan
kembali kami lanjutkan untuk menuntaskan misi mengunjungi komplek-komplek candi
di area Gedong Songo.
Tanah
lapang berukuran cukup luas menyambut kedatangan saya dan istri selepas
berjalan dari area kawah. Tepat di
hadapan kami, terpasang papan penunjuk jalan yang menunjukkan dua lokasi candi
berikutnya. Arah kanan ke komplek Candi Gedong IV. Sementara arah kiri akan
menuntun kita menuju ke komplek Candi Gedong V. Candi-candi dari kedua komplek
ini pun bisa kita lihat dari tengah lapangan hanya dengan mata telanjang.
Candi
Gedong IV akhirnya menjadi candi yang kami pilih karena lokasinya yang lebih
dekat dan mudah dijangkau dari titik awal kami berdiri.
Terdiri
dari 12 bangunan, Candi Gedong IV sendiri terbagi menjadi tiga sub kelompok.
Sub kelompok pertama terdiri dari candi induk dengan delapan candi perwara.
Saat ini, kedelapan candi perwara tersebut sudah tidak berbentuk dan hanya
menyisakan reruntuhan. Kemudian ada sub kelompok kedua yang terdiri dari
beberapa reruntuhan candi perwara.
Berjarak beberapa ratus meter dari sub kelompok pertama dan kedua, terdapat sub kelompok ketiga dari Candi Gedong IV. Di kawasan ini, kita masih bisa menyaksikan satu candi perwara yang masih utuh berdiri serta satu candi perwara yang hanya meninggalkan bagian kaki candi saja
Jika
kalian tak diburu waktu, mungkin ada baiknya untuk rehat sebentar di area Candi
Gedong IV seperti yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Tempat yang saya
rekomendasikan, ada di sekitar kawasan sub kelompok kedua. Lokasinya yang sedikit lebih
tinggi dibandingkan sub kelompok pertama, membuat gundukan tanah di area ini
sangat cocok dijadikan titik untuk menikmati atmosfer syahdu di sekitar candi
dan lapangan berlatar putihnya awan.
“Lanjut, yuk!”
Kalimat
ajakan itu melintas setelah waktu istirahat untuk menikmati makanan dan pemandangan dirasa tuntas. Sembari menunggu istri mengemas sisa camilan dan barang bawaan, sesekali
saya mengambil gambar melalui ponsel pintar yang saya bawa. Lumayan untuk
dijadikan kenangan dan histori di kemudian hari.
Awan mendung mulai sedikit menggantung. Perlahan, halimun pun turun melewati cabang pepohonan dan sela-sela dedaunan. Seakan mengikuti jejak langkah kami yang meninggalkan komplek Candi Gedong IV, mereka tengah berkooperasi membentuk simfoni indah sebagai tanda perpisahan di hadapan Giri Ungaran.
Terakhir, Namun Bukan Akhir...
Beberapa
menit berjalan, sampailah kami di area candi tertinggi, yaitu Candi Gedong V. Terletak
di ketinggian 1.308 meter di atas permukaan laut, Candi Gedong V ternyata juga menjadi
komplek terakhir dari kumpulan candi yang ada di kawasan Gedong Songo. Tak
heran, Candi Gedong V menjadi salah satu komplek yang selalu ramai dikunjungi
karena menawarkan view pamandangan
dari atas ketinggian yang cukup cantik dan menarik. Bahkan jika cuaca cerah,
komplek Candi Gedong V mampu menyuguhkan gagahnya puncak Gunung Ungaran dengan
sempurna.
Candi Gedong V sendiri memiliki dua buah sub kelompok. Kelompok pertama berada pada teras yang lebih tinggi terdiri dari satu buah candi utama yang masih berdiri sempurna, satu buah candi perwara, serta beberapa reruntuhan lain yang mengelilingi candi. Sementara di sub kelompok kedua hanya ada dua reruntuhan candi perwara saja.
Candi Para Dewa di Puncak
Ancala...
Meskipun
hanya menyisakan lima dari total sembilan komplek yang pernah ditemukan, candi-candi
peninggalan Wangsa Syailendra yang dibangun sekitar abad ke-7 hingga abad ke-9
ini tetap mampu membuka wawasan baru bagi saya. Satu yang jelas terlihat,
ternyata candi-candi Gedong Songo memiliki karakteristik yang tidak jauh
berbeda dengan bangunan candi yang ada di Komplek Candi Arjuna, Dieng.
Dilihat
dari segi arsitektur, kedua candi Hindu ini memiliki bentuk puncak yang
meruncing dengan sebutan ratna/amalaka. Sementara dari segi struktur bangunan,
Candi Arjuna dan Candi Gedong Songo sama-sama terdiri atas tiga tingkatan,
yaitu kaki candi (Bhurloka), tubuh candi (Bhuvarloka), serta atas candi
(Svarloka) yang digambarkan mewakili dunia para dewa.
Tak
hanya itu, posisi candi pun bisa dikatakan sama-sama terletak di dataran
tinggi. Hal ini pun bukan tanpa alasan. Sebab menurut kepercayaan umat Hindu,
gunung atau dataran tinggi merupakan kawasan yang suci dan menjadi tempat
bersemayamnya para dewa.
Hal yang tak kalah menarik dari Candi Gedong Songo adalah posisi setiap candi yang diletakkan berderet dari bawah hingga ke atas perbukitan untuk menghubungkan satu komplek candi ke komplek candi lainnya. Dari beberapa sumber yang saya baca, posisi tersebut menggambarkan hierarki kesucian candi. Dengan kata lain, candi yang berada di posisi atas lebih suci dibanding dengan candi yang ada di bawahnya.
***
Selesai sudah perjalanan
saya untuk mengeksplorasi candi-candi kuno di kawasan Gedong Songo. Rasa takjub dan kagum berbaur dalam setiap langkah kaki yang
saya ambil ketika berjalan menjauh dari candi. Ditemani lantunan kidung hutan
yang terus berkumandang, saya bersyukur bahwa kunjungan ke Candi Gedong Songo berhasil memberikan sebuah pengalaman
berkesan dan tak terlupakan.
Ah, tak sabar rasanya untuk segera mengulangi perjalanan ini dan kembali bersua dengan candi para dewa...
Info Singkat Bermanfaat...
Alamat Candi Gedong
Songo:
Desa
Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah 50614
Harga Tiket Masuk (update per 25 Juni 2023):
Wisatawan
Lokal : Rp10.000,- (Hari
Biasa)
Rp15.000,-
(Hari Libur)
Wisatawan
Mancanegara : Rp75.000,-
Tiket
Kolam Air Panas : Rp5.000,-
Fasilitas:
·
Tempat Parkir |
·
Pujasera |
·
Musholla |
·
Toko Oleh-oleh |
·
Tourist Information
Centre (TIC) |
·
Toilet |
·
Penginapan |
·
Camping Ground |
· Pendopo |
· Taman |
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Pesona Wisata Kabupaten Semarang”
Referensi:
1. Papan
informasi di sekitar komplek Candi Gedong Songo
2. https://kabsemarangtourism.id/home/detail/51
3. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/candi-gedong-songgo-sebuah-bukti-ketahanan-budaya/
4. https://museumnusantara.com/candi-gedong-songo/
2 comments
Aku pengen ngajak anakku kelak untuk berkeliling area wisata sejarah seperti ini.
BalasHapusYah, mungkin nunggu dua tahun lagi ya. Semoga nanti kelak akan tercapai.
Di tengah-tengah membaca ini, muncul pertanyaan: kenapa banyak banget candi di Pulau Jawa, ya? Haha. Tapi ngeliat candi-candi yang masih dikelilingi pepohonan seperti ini rasanya sejuk banget, tinggal di kota yang penat, panas, dan riuh membuat saya rindu tempat-tempat seperti ini. Tapi kalau pas weekend mau datang, banyak ketemu orang yang juga cuma punya waktu di akhir pekan, jadinya tetep sumpek dan gak bisa benar-benar menikmati. Hahaha
BalasHapusBy the way, udah lama banget enggak main ke blog ini, dan baru tau kalau Wisnu sekarang sudah menikah. Selamat, ya, Wisnu. Semoga sehat selalu. Masih stay di Solo nggak sih?
Yakin udah di baca? Apa cuma di scroll doang?
Yaudah, yang penting jangan lupa komen yes?
Maturnuwun ^^